Senin, 09 Juni 2014

TUGAS KELOMPOK 3 (SIP)

FOREST FIRE MONITORING (PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN) DI PROVINSI RIAU

I.       Pendahuluan
Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang cukup sering terjadi. Di Propinsi Riau, kebakaran hutan dapat dikatakan sudah menjadi bencana tahunan. Sejak tahun 1995, industri kayu dan perkebunan di Riau mulai mempraktekkan budaya tebang, imas dan bakar yang akhirnya menjadi ritme keseharian industri kehutanan Riau. Eksploitasi hutan ini semakin meningkat disebabkan oleh : Kebijakan pemerintah yang memberikan kesempatan besar bagi pengusaha untuk melakukan konversi hutan menjadi perkebunan monokultur skala besar, seperti perkebunan kelapa sawit maupun kebun kayu. Industri Pulp dan Plywood dikembangkan sebelum hutan tanaman industri dibangun, sehingga menyebabkan penebangan di hutan alam sampai hutan tanaman mampu mensuplai kebutuhan tersebut. Dinas Kehutanan Riau menyebutkan pada tahun 2001, bahwa dengan lebih dari 350 perusahaan, setiap tahunnya Industri Kayu yang ada di Riau membutuhkan 14,7 m3 kayu, padahal kemampuan hutan alam dan hutan tanaman industri dalam menyuplai kayu hanya berkisar 7,7 juta meter kubik pertahun. Pada tahun 2002, Dinas Kehutanan Riau mengeluarkan izin IPK sebanyak 112 izin untuk melakukan pembalakan di atas hutan seluas 50.000 hektar lebih.

Riau sudah mencapai 1,7 juta-2 juta hektar berdasarkan data dari badan pusat statisti provinsi riau 2010 bahwa luas areal perkebunan sawit dari tahun 2005 sampai dengan 2009 adalah sebagai berikut, pada tahun 2005 jumlah areal perkebunan kelapa sawit 1.424. 814 dan pada tahun 2009 1.911.113. Artinya dalam sebelas tahun terakhir pertumbuhan luas lahan sawit mencapai 1 juta. Dari data ini bisa disimpulkan dari pembakaran yang terjadi beberapa tahun terakhir di Riau adalah karena praktek pembukaanlahan perkebunan kelapa sawit. Penyebab lainnya yaitu akibat fenomena iklim El Nino, yaitu musim kemarau yang mencapai 11 bulan. Hal ini terjadi pada tahun 1987, 1991, 1994 dan1997 dimana kebakaran hutan menjadi bencana nasional dan mengakibatkan pencemaran udara oleh asap tebal.
Tabel I.1 luas hutan menurut fungsinya di provinsi Riau
No
Fungsi
Luas
Area
2006
1
Hutan Lindung
228.793,82
2,66
2
Hutan Suaka Alam
531.852,65
6,19
3
Hutan Produksi Terbatas
o      Tetap
o      Terbatas

1.605.762,78
1.815.949,74

18,67
21,12
4
Non Kawasan Hutan
427. 964,39
49,75
5
Hutan Magrove/bakau
138.433,62
1,61
Jumlah
8.598.757,00
100,00
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Riau 2010

II.   Faktor Yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan di Provinsi Riau
Kebakaran hutan yang terjadi di provinsi riau terjadi karena adanya beberapa faktor diantaranya
1. Faktor Alam
Jika dilhat dari penyebaran titik-titk api berdasarkan kalender yang dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel II.1 penyebaran titik-titk api berdasarkan kalender
No
Bulan
Tahun
1996
1997
1998
1999
2001
2002
1
Januari
no data
747
1192
3
95
no data
2
Febuari
no data
193
3642
213
578
164
3
Maret
no data
442
3988
94
2100
1237
4
April
no data
108
1999
1386
354
78
5
Mei
205
2717
1194
632
1544
180
6
Juni
443
2455
3057
1578
134
299
7
Juli
2949
3632
889
3059
2490
1145
8
Agustus
582
5037
215
1
292
183
9
September
307
951
348
301
no data
85
10
Oktober
191
53
655
39
no data
399
11
November
1251
73
1353
324
no data
5
12
Desember
149
682
103
188
no data
5
Sumber: Data Hasil Olahan PUSDALKARHUTLA Propinsi Riau, 2001

Berdasarkan data diatas dapat diambil kesimpulan bahwa terjadi perbedaan jumlah titik-titk api kebakaran hutan yang terjadi diprovinsi riau dimana terjadi kenaikan jumlah titik api pada bulan-bulan tertentu yang hampir banyak terjadi pada bulan-bulan musim kemarau yang naik secara significant, walaupun ada pada bulan tertentu terjadi kenikan yang significant dikarenakan faktor eksternal dari faktor alam seperti faktor manusia baik itu disengaja maupun yang tidak disengaja.. Indonesia merupakan negara yang beiklim tropis dimana terletak antara 0° – 231/2° LU/LS dan hampir 40 % dari permukaan bumi. Ciri-ciri iklim tropis adalah sebagai berikut: Suhu udara rata-rata tinggi, karena matahari selalu vertikal. Umumnya suhu udara antara 20- 23°C. Bahkan di beberapa tempat rata-rata suhu tahunannya mencapai 30°C. Amplitudo suhu rata-rata tahunan kecil. Di kwatulistiwa antara 1 – 5°C, sedangkan ampitudo hariannya lebih besar. Tekanan udaranya rendah dan perubahannya secara perlahan dan beraturan. Hujan banyak dan lebih banyak dari daerah-daerah lain di dunia. Selain itu indonesia terdapat musim pancaroba atau pergantian musim antara musim huujan dan musim kemarau yang membawa beberapa badai seperti badai el nino yang melanda di indonesia yang membawa dampak pada perubahan suhu.

Berdasarkan pertemuan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau, Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru menyatakan bahwa pada awal Juni s/d awal September 2014 di seluruh Provinsi Riau sudah masuk musim kemarau. Prediksi BMKG kondisi cuaca kemarin pada tanggal 20 Juni 2014 sampai seminggu ke depan masih tetap kering dengan suhu >35oC atau dalam kondisi ekstrim dengan kelembaban rendah sehingga susah terbentuk awan untuk turun hujan. Untuk itu, perlu langkah-langkah antisipatif yang lebih terpadu antar pemangku kepentingan termasuk masyarakat.
Berikut data hotspots dari satelit NOAA-18 di Provinsi Riau pada tanggal 19 Juni 2014:
No
Kabupaten
Jumlah Hotspots (titik)
1
Rokan Hilir
35
2
Rokan Hulu
9
3
Dumai
4
4
Bengkalis
12
5
Siak
14
6
Pekanbaru
1
7
Kampar
6
8
Pelalawan
25
9
Indragiri Hilir
23
10
Indragiri Hulu
10
11
Kuantan Sengingi
3
Total
142
Sumber : http://www.menlh.go.id/
Data Dinas Kehutanan Provinsi Riau/BBKSDA tentang perkiraan luas terbakar mulai tanggal 1 – 19 Juni 2014 di Provinsi Riau seluas 3.709 ha terdiri dari:
No
Kabupaten
Perkiraan luas terbakar (ha)
1
Rokan Hilir
2800
2
Rokan Hulu
200
3
Dumai
20
4
Bengkalis
500
5
Siak
20
6
Pekanbaru
4
7
Kampar
30
8
Pelalawan
115
9
Indragiri Hulu
10
10
Kuantan Sengingi
10

Total
3709
Sumber : http://www.menlh.go.id/
Sementara itu, Kepolisian daerah Riau berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari pengaduan masyarakat sudah melakukan mobilisasi pengendalian kebakaran lahan dan hutan sejak 1 Juni 2014.Kejadian kebakaran di Wilayah Provinsi Riau dipicu oleh indikasi pembukaan lahan dengan cara membakar dan diperparah dengan kondisi suhu ekstrim yang lebih dari 35oC dengan luas lahan gambut di wilayah Riau sebesar 56,1% yang mudah terbakar pada musim kemarau.Upaya-upaya yang telah dilakukan diantaranya:
·       Pemadaman darat dengan mengerahkan regu pemadam dari TRC/Satpol PP, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Regu Pemadam Kebakaran (RPK) perusahaan, Manggala Agni dan kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA);
·       Pemantauan upaya pengendalian karlahut di daerah rawan;
·       Koordinasi dengan Kementerian/Lembaga dan SKPD terkait di daerah;
·       Sinkronisasi program tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota untuk efektivitas mobilisasi sumberdaya yang dimiliki.
Saat ini, perkembangan terakhir kondisi kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau yaitu kebakaran sudah dapat dilokalisir penyebarannya. Di Desa Tanjung Leban dan Sepahat, Kabupaten Bengkalis sudah dipadamkan kebakaran seluas ± 1000 ha. Selain itu, pertemuan antara Deputi III MenLH Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim KLH dan Deputi V MenLH Bidang Penegakan Hukum Lingkungan KLH dengan Kepala Kejaksaan Tinggi Riau dan Kepala Kepolisian Daerah Riau untuk melaksanakan penegakan hukum lingkungan secara tegas dengan melakukan proses penyelidikan dan dapat ditingkatkan ke penyidikan apabila ditemukan bukti kesengajaan pembukaan lahan dengan cara membakar terutama di Kab. Rokan Hilir, Kab. Bengkalis dan Kota Dumai. Saat ini, regu pemadam kebakaran dibantu TNI/Polri masih berada di lokasi untuk upaya penanggulangan kebakaran.
2.  Faktor manusia
Kebakaran hutan diprovinsi riau selain disebabkan oleh faktor alam, cuaca, dan iklim yang terjdi juga disebabkan oleha faktor manusia, diantaranya disebabkan sebagai berikut :
·       Pembukaan lahan dengan budaya tebang, imas dan bakar.
Pembukaan lahan dengan budaya tebang, imas dan bakar merupakan langkah yang paling mudah dan murah untuk membuka lahan perkebunan atau ladang berpindah yang merupakan salah satu dari beberapa faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan.
·       Pembukaan lahan perkebunan dengan membakar lahan.
Pembukaan lahan perkebunan dengan membakar lahan merupakan langkah yang efesien yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit, hal ini dikarenakan sebagian besar lahan di provinsi riau merupakan lahan gambut, dengan membakar lahan gambut maka tingkat keasaman tanah akan berkurang dan PH tanah akan cocok untuk tanaman kelapa sawit, hal ini yang dilakukan oleh perusahaan PT Adei Plantation & Industry dan pemilik perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh masyarakat.
·       Kurangnya kesadaran masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan
Kadangkala kesadaran masyarakat akan bahaya dari kebakaran hutan dan partisipatif masyarakat dan lembaga-lemabaga independent seharusnya ikut bertanggung jawab terjadinya kebakaran hutan.
·       Adanya ladang berpindah yang dilakukan oleh masyarakat
Pembukaan lahan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat hanya sedikit sekali persentasinya, akan tetapai pengaruhnya sangat besar apabila pembukaan lahan dilakukan pada musim kemarau, hal ini dikarenakan pembukaan lahan gambut mempunyai penyebaran yang cepat dan bisa menjadi kebakaran hutan yang luas jika tidak ditangani secara serius.


III.     Dampak Kebakaran Hutan di Provinsi Riau
Ø Terganggu aktivitas perekonomian dan pembangunan.
Dampak kebakaran hutan sangatlah luas jika dilihat dari sektor perekonomian kabut asap yang ditimbulkan dari kebakaran hutan di daerah lahan gambut yang menyebabkan kabut asap yang tebal sangatlah mengganggu, jika dihitung kerugian yang ditimbulkan dari kabut asap satu hari menyelimuti suatu wilayah sangatlah besar, provinsi riau merupakan daerah yang menghasilkan produk domestic bruto perkapita yang besar pada tahun 2009 atas dasar harga yang berlaku sebesar 60.210.835,29 dengan pendapatan regional perkapitanya 55.044.745,62. Jika dikalkulasikan kerugian perhari yang diakibatkan kebakaran hutan dan kabut asap 60.210.885,29 per 365 hari adalah 164.961,32.jika dihitung ekternalitas yang terjadi di masyarakat jumlah kerugian berdasarkan PBRD hanya sebagian kecil saja. Permasalahan kabut asap juga mengganggu kegiatan penerbangan yang terjadi dibadara sultan syarif qasim yang hanya mempunyai jarak pandang tidak lebih dari 50 m yang menagkibatkan tertundanya jadwal penerbangan yang mengakibatkan kerugian semua pihak baik itu pihak bandara, maskapai penerbangan, maupun masyarakat yang menggunakan jasa penerbangan.serta kabut asap juga menggangu negara tetangga, Malaysia dan Singapura. Serta menggangu aktivitas perekonomian dan aktivitas masyarakat lainnya.
Ø  Penyebaran penyakit ISPA bagi masyarakat.
Seiring dengan adanya kebakaran hutan yang mengakibatkan adanya kabut asap berdampak langsung ke masyrakat dengan adanya penyakit inspkesi saluran pernafasan atau ispa. Berdasarkan dinas kesehatan provinsi riau menunjukan bahwa terjadi peningkatan jumlah pasien yang menderita ispa.
Ø  Dampak terhadap lingkungan
Adanya perubahan iklim, misalnya yang sudah terasa adalah kenaikan suhu yang ekstrim dalam beberapa wakti belakangan ini, contohnya suhu di Sumatra yang biasanya 33-34oC naik menjadi 37oC. Sebagai akibat dari efek rumah kaca yang berakibat secara global semakin menipisnya lapisan ozon dan kenaikan suhu permukaan bumi. Kebakaran hutan ini harus ditanggapi dengan serius oleh semua pihak. Selain itu hilangnya areal hutan akibat terbakar semakin memperparah keadaan dengan hilangnya sejumlah areal paru-paru dunia.
Ø Hilangnya sejumlah spesies.
Hal ini disebabkan oleh kebakaran hutan yang dapat menghancurkan habitat satwa-satwa yang ada di dalamnya. Umumnya satwa musnah karena terperangkap oleh asap dan sulit keluar karena api mengepung dari segala penjuru. Hal lain yang menyebabkan hilangnya sejumlah spesies adalah adanya perubahan iklim yang menyebabkan spesies ini tidak mampu lagi bertahan dan menyesuaikan diri
Ø Ancaman erosi.
Kebakaran yang terjadi di lereng-lereng pegunungan ataupundataran tinggi akan memusnahkan sejumlah tanaman yang berfungsi menahan lajutanah pada lapisan atas untuk mencegah erosi. Pada saat hujan turun, ketiadaan akartanah, akibat terbakar, sebagai pengikat akan menyebabkan tanah ikut terbawa oleh hujan ke bawah yang pada akhirnya juga potensial menimbulkan banjir dan longsor.
Ø Perubahan fungsi lahan.
Fungsi hutan yang sebenarnya adalah sebagai catchmentarea, penyaring karbondioksida maupun sebagai mata rantai dari suatu ekosistem yang lebih besar yang menjaga keseimbangan planet bumi. Namun fungsi hutan inihilang karena karbondioksida tidak lagi dapat disaring, panas matahari tidak dapat terserap dengan baik, dan perubahan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan atau terkadang malah menjadi padang ilalang yang membutuhkan waktu lama untuk kembali pada fungsinya yang semula.
Ø Penurunan kualitas air.
Kualitas air berubah karena adanya erosi yang muncul dibagian hulu. Air hujan tidak lagi memiliki penghalang untuk menahan lajunya, makaia akan membawa seluruh butir tanah yang ada di atasnya untuk masuk ke dalam sungai-sungai yang ada. Akibatnya sungai pun menjadi keruh.

IV.     Penyebaran Titik Api (Hotspot) di Provinsi Riau
Sepanjang 2014 Satelit "National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA)" 18 milik Amerika Serikat yang dioperasikan Singapura merekam keberadaan 2.525 titik panas (hotspot) di daratan Provinsi Riau. Menurut data instansi yang ada di indonesia titik panas yaitu sekitar 1089 (hotspot). Dimana sepanjang bulan Februari yang paling banyak yaitu berada di Kabupaten Bengkalis yakni mencapai 522 titik.. Data BPBD juga menguraikan untuk sepanjang 2014 jumlah titik panas yang berhasil direkam NOAA 18 ada sebanyak 2.525 titik tersebar di selruh kabupaten/kota di Riau. Terbanyak yakni pada Februari dengan 1.272 titik dan pada Maret terdeteksi 1.122 titik. Sementara pada Januari dan April NOAA mendeteksi kemunculan masing-masing 50 "hotspot" dan pada Mei masih terekam 1.222 titik.
Semakin parahnya kabut asap yang melanda perbatasan pulau Sumatera dan semenanjung Malaya hingga kini masih terus menimbulkan perdebatan sengit diantara tiga negara, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Menurunnya kualitas udara di beberapa wilayah negara tetangga menjadi pemicu utama argumentasi. Kondisi di Singapura, saat ini bahkan menurut Lembaga Lingkungan Singapura (National Environment Agency) suda mencapai angka 371 dalam standar PSI (Pollutant Standard Index) dan secara resmi melewati batas berbahaya bagi manusia yang ditetapkan maksimal adalah 301. Batas angka yang sehat untuk ditempati oleh manusia adalah antara angka 51 hingga 100 PSI. Sementara antara 101 hingga 200 adalah kondisi tidak sehat. Selebihnya, jika mencapai 201 hingga 300 sudah memasuki kategori sangat tidak sehat. Diatas angka itu, sudah masuk zona ‘beracun’. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut :






Terkait hal ini, World Resources Institute  baru saja merilis sebuah data terkait kebakaran hutan yang terjadi di hutan Sumatera. Data ini memperlihatkan lokasi-lokasi kebakaran yang terjadi pulau Sumatera, dan menurut pihak WRI ada pola-pola khusus yang terjadi dalam kebakaran hutan ini. Secara umum, hanya sedikit api yang muncul di kawasan lindung dan beberapa lokasi penebangan pilih. Sebagian besar kebakaran hutan bersumber dari lokasi perkebunan HTI (Hutan Tanaman Industri) dan perkebunan kelapa sawit. Masih maraknya praktek tebang habis dan membakar lahan menyebabkan lokasi-lokasi ini sangat rentan terjadi kebakaran lahan. Lewat data yang didapat dari Active Fire Data milik NASA dan peta konsesi milik Kementerian Kehutanan RI, World Resources Institute berhasil menemukan beberapa catatan penting di lokasi kebakaran hutan saat ini.
Setidaknya 17 nama perusahaan penebangan berhasil disaring lewat data yang dihasilkan oleh World Resources Institute ini. Dari data ini lima perusahaan berasal dari grup Raja Garuda Mas atau Royal Golden Eagle, sembilan perusahaan dari grup Sinar Mas, dan satu perusahaan dari Barito Pacific Group.
Sementara itu, dari perkebunan kelapa sawit 15 perusahaan berada di dalam wilayah ditemukannya titik-titik api yang menyebabkan kabut asap. Dari data yang berhasil dihimpun oleh WRI, tiga perusahaan berada dalam naungan Surya Dumai Grup, sementara masing-masing satu perusahaan dari Sambu Grup, Siak Raya Grup, Rokan Grup, Sime Darby, Wilmar dan KLAU River Ent Sdn Bhd.
Menurut catatan BNPB hingga tanggal 18 Juni 2013 silam berdasarkan data satelit NOAA18 di Kementerian Kehutanan menunjukkan, jumlah hotspot di Riau 148 titik, Jambi 26 titik, Kalbar 22 titik, Sumsel 6 titik, dan Sumbar 5 titik. Hotspot juga terjadi di negara lain seperti Malaysia 8 titik, Thailand, Laos, Vietnam, Cambodia 29 titik, dan Myanmar 17 titik. Jumlah tersebut belum dikategorikan besar jika dibandingkan puncak kemarau yang seringkali mencapai ribuan titik.
Menanggapi terjebaknya asap di wilayah Singapura, Sutopo Yuwono mengatakan hal ini disebabkan oleh anomali cuaca. Munculnya pusat-pusat tekanan rendah mengubah sirkulasi massa uap air. Hal ini mengakibatkan terjadinya bencana asap yang tidak mengikuti pola umum. BMKG menyatakan bahwa siklon Yagi dan Siklon Leepi yang berada di timur laut Philipina menyebabkan tertariknya massa udara dari Indonesia ke arah Philipina. Kabut asap dari daerah Riau juga mengalir ke arah Philipina melalui Singapura sehingga kualitas udara mengganggu Singapura. Siklon tropis Leepi akan berumur 7-10 hari sejak munculnya embrio siklon tgl 18/6/2013. Sebelumnya siklon Yagi juga tumbuh di Samudera Pasifik yang menyebabkan arah angin di Indonesia mengarah ke siklon tersebut. Kondisi demikian juga menyebabkan wilayah Riau akan relatif kering. Setiap tahun, delapan propinsi di Indonesia memiliki titik-titik api terbanyak akibat kebakaran hutan dan lahan. Umumnya kebakaran terjadi di daerah yang berlahan gambut, terletak di pedalaman dan mengakibatkan kebakaran semakin sulit dipadamkan.
I.       Penanggulangan Kebakaran Hutan di Provinsi Riau
1.     Mapping : Pembuatan peta kerawanan hutan di wilayah teritorialnya masing-masing. Fungsi ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, namun yang biasa digunakan adalah 3 cara berikut:
  Pemetaan daerah rawan yang dibuat berdasarkan hasil olah data dari masa lalu maupun hasil prediksi
  Pemetaan daerah rawan yang dibuat seiring dengan adanya survai desa (Partisipatory Rural Appraisal)
  Pemetaan daerah rawan dengan menggunakan Global Positioning System atau citra satelit
2.     Sistem Informasi : penyediaan sistem informasi kebakaran hutan.
Hal ini bisa dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning system) di setiap tingkat. Deteksi dini dapat dilaksanakan dengan 2 cara berikut :
  Analisis kondisi ekologis, sosial, dan ekonomi suatu wilayah
  Pengolahan data hasil pengintaian petugas
3.     Standardisasi : pembuatan dan penggunaan SOP (Standard Operating Procedure)
Untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan kebakaran hutan maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan, diperlukan standar yang baku dalam berbagai hal berikut :
  Metode pelaporan      
Untuk menjamin adanya konsistensi dan keberlanjutan data yang masuk, khususnya  data yang berkaitan dengan kebakaran hutan.
  Peralatan
Peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus bisa diterapkan oleh pemerintah, meskipun standar ini bisa disesuaikan kembali sehubungan dengan potensi terjadinya kebakaran hutan
  Metode Pelatihan untuk Penanganan Kebakaran Hutan
Standardisasi ini perlu dilakukan untuk membentuk petugas penanganan kebakaran yang efisien dan efektif dalam mencegah maupun menangani kebakaran hutan yang terjadi.
4.     Supervisi : pemantauan dan pengawasan kepada pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan hutan. pemantauan berkaitan langsung dengan penyediaan data,kemudian pengawasan merupakan respon dari hasil olah data tersebut. Pemantauan, menurut kementerian lingkungan hidup, dibagi menjadi dua, yaitu :
  Pemantauan terbuka : Pemantauan dengan cara mengamati langsung objek yang diamati.
Pemantauan tertutup (intelejen) :       
Pemantauan yang dilakukan dengan cara penyelidikan yang hanya diketahui oleh aparat tertentu.
Pemantauan pasif : Pemantauan yang dilakukan berdasarkan dokumen, laporan, dan keterangan dari data-data sekunder, termasuk laporan pemantauan tertutup
  Pemantauan aktif        
Pemantauan dengan cara memeriksa langsung dan menghimpun data di lapangan secara primer. Contohnya : melakukan survei ke daerah-daerah rawan kebakaran hutan. Sedangkan, pengawasan dapat dilihat melalui 2 pendekatan, yaitu :       
Preventif : kegiatan pengawasan untuk pencegahan sebelum terjadinya perusakan lingkungan (pembakaran hutan).      
Represif : kegiatan pengawasan yang bertujuan untuk menanggulangi perusakan yang sedang terjadi atau telah terjadi serta akibat-akibatnya sesudah terjadinya kerusakan lingkungan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar