FOREST FIRE MONITORING (PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN)
DI PROVINSI RIAU
I. Pendahuluan
Kebakaran hutan merupakan salah satu bentuk gangguan yang
cukup sering terjadi. Di Propinsi Riau, kebakaran hutan dapat dikatakan sudah
menjadi bencana tahunan. Sejak tahun 1995, industri kayu dan perkebunan di Riau
mulai mempraktekkan budaya tebang, imas dan bakar yang akhirnya menjadi ritme
keseharian industri kehutanan Riau. Eksploitasi hutan ini semakin meningkat
disebabkan oleh : Kebijakan pemerintah yang memberikan kesempatan besar bagi
pengusaha untuk melakukan konversi hutan menjadi perkebunan monokultur skala besar,
seperti perkebunan kelapa sawit maupun kebun kayu. Industri Pulp dan Plywood
dikembangkan sebelum hutan tanaman industri dibangun, sehingga menyebabkan
penebangan di hutan alam sampai hutan tanaman mampu mensuplai kebutuhan
tersebut. Dinas Kehutanan Riau menyebutkan pada tahun 2001, bahwa dengan lebih
dari 350 perusahaan, setiap tahunnya Industri Kayu yang ada di Riau membutuhkan
14,7 m3 kayu, padahal kemampuan hutan alam dan hutan tanaman industri
dalam menyuplai kayu hanya berkisar 7,7 juta meter kubik pertahun. Pada tahun
2002, Dinas Kehutanan Riau mengeluarkan izin IPK sebanyak 112 izin untuk
melakukan pembalakan di atas hutan seluas 50.000 hektar lebih.
Riau sudah mencapai 1,7 juta-2 juta hektar berdasarkan data
dari badan pusat statisti provinsi riau 2010 bahwa luas areal perkebunan sawit
dari tahun 2005 sampai dengan 2009 adalah sebagai berikut, pada tahun 2005
jumlah areal perkebunan kelapa sawit 1.424. 814 dan pada tahun 2009
1.911.113. Artinya dalam sebelas tahun terakhir pertumbuhan luas lahan sawit
mencapai 1 juta. Dari data ini bisa disimpulkan dari pembakaran yang terjadi
beberapa tahun terakhir di Riau adalah karena praktek pembukaanlahan perkebunan
kelapa sawit. Penyebab lainnya yaitu akibat fenomena iklim El Nino, yaitu musim
kemarau yang mencapai 11 bulan. Hal ini terjadi pada tahun 1987, 1991, 1994
dan1997 dimana kebakaran hutan menjadi bencana nasional dan mengakibatkan
pencemaran udara oleh asap tebal.
Tabel I.1 luas hutan menurut fungsinya di
provinsi Riau
No
|
Fungsi
|
Luas
|
Area
|
2006
|
|||
1
|
Hutan Lindung
|
228.793,82
|
2,66
|
2
|
Hutan Suaka Alam
|
531.852,65
|
6,19
|
3
|
Hutan Produksi Terbatas
o
Tetap
o
Terbatas
|
1.605.762,78
1.815.949,74
|
18,67
21,12
|
4
|
Non Kawasan Hutan
|
427. 964,39
|
49,75
|
5
|
Hutan Magrove/bakau
|
138.433,62
|
1,61
|
Jumlah
|
8.598.757,00
|
100,00
|
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi
Riau 2010
II. Faktor Yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan di Provinsi Riau
Kebakaran hutan yang terjadi di provinsi riau terjadi karena
adanya beberapa faktor diantaranya
1. Faktor Alam
Jika dilhat dari penyebaran titik-titk api berdasarkan kalender
yang dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel II.1 penyebaran titik-titk api berdasarkan kalender
No
|
Bulan
|
Tahun
|
|||||
1996
|
1997
|
1998
|
1999
|
2001
|
2002
|
||
1
|
Januari
|
no data
|
747
|
1192
|
3
|
95
|
no data
|
2
|
Febuari
|
no data
|
193
|
3642
|
213
|
578
|
164
|
3
|
Maret
|
no data
|
442
|
3988
|
94
|
2100
|
1237
|
4
|
April
|
no data
|
108
|
1999
|
1386
|
354
|
78
|
5
|
Mei
|
205
|
2717
|
1194
|
632
|
1544
|
180
|
6
|
Juni
|
443
|
2455
|
3057
|
1578
|
134
|
299
|
7
|
Juli
|
2949
|
3632
|
889
|
3059
|
2490
|
1145
|
8
|
Agustus
|
582
|
5037
|
215
|
1
|
292
|
183
|
9
|
September
|
307
|
951
|
348
|
301
|
no data
|
85
|
10
|
Oktober
|
191
|
53
|
655
|
39
|
no data
|
399
|
11
|
November
|
1251
|
73
|
1353
|
324
|
no data
|
5
|
12
|
Desember
|
149
|
682
|
103
|
188
|
no data
|
5
|
Sumber: Data Hasil
Olahan PUSDALKARHUTLA Propinsi Riau, 2001
Berdasarkan data diatas dapat diambil kesimpulan bahwa terjadi
perbedaan jumlah titik-titk api kebakaran hutan yang terjadi diprovinsi riau
dimana terjadi kenaikan jumlah titik api pada bulan-bulan tertentu yang hampir
banyak terjadi pada bulan-bulan musim kemarau yang naik secara significant,
walaupun ada pada bulan tertentu terjadi kenikan yang significant dikarenakan
faktor eksternal dari faktor alam seperti faktor manusia baik itu disengaja
maupun yang tidak disengaja.. Indonesia merupakan negara yang beiklim tropis
dimana terletak antara 0° – 231/2° LU/LS dan hampir 40 % dari permukaan
bumi. Ciri-ciri iklim tropis adalah sebagai berikut: Suhu udara rata-rata
tinggi, karena matahari selalu vertikal. Umumnya suhu udara antara 20- 23°C.
Bahkan di beberapa tempat rata-rata suhu tahunannya mencapai 30°C. Amplitudo suhu
rata-rata tahunan kecil. Di kwatulistiwa antara 1 – 5°C, sedangkan ampitudo
hariannya lebih besar. Tekanan udaranya rendah dan perubahannya secara perlahan
dan beraturan. Hujan banyak dan lebih banyak dari daerah-daerah lain di dunia.
Selain itu indonesia terdapat musim pancaroba atau pergantian musim antara
musim huujan dan musim kemarau yang membawa beberapa badai seperti badai el
nino yang melanda di indonesia yang membawa dampak pada perubahan suhu.
Berdasarkan pertemuan
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau, Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru menyatakan bahwa pada awal Juni s/d
awal September 2014 di seluruh Provinsi Riau sudah masuk musim kemarau.
Prediksi BMKG kondisi cuaca kemarin pada tanggal 20 Juni 2014 sampai seminggu
ke depan masih tetap kering dengan suhu >35oC atau dalam kondisi
ekstrim dengan kelembaban rendah sehingga susah terbentuk awan untuk turun
hujan. Untuk itu, perlu langkah-langkah antisipatif yang lebih terpadu antar
pemangku kepentingan termasuk masyarakat.
Berikut data hotspots dari
satelit NOAA-18 di Provinsi Riau pada tanggal 19 Juni 2014:
No
|
Kabupaten
|
Jumlah Hotspots (titik)
|
1
|
Rokan
Hilir
|
35
|
2
|
Rokan
Hulu
|
9
|
3
|
Dumai
|
4
|
4
|
Bengkalis
|
12
|
5
|
Siak
|
14
|
6
|
Pekanbaru
|
1
|
7
|
Kampar
|
6
|
8
|
Pelalawan
|
25
|
9
|
Indragiri
Hilir
|
23
|
10
|
Indragiri
Hulu
|
10
|
11
|
Kuantan
Sengingi
|
3
|
Total
|
142
|
Sumber : http://www.menlh.go.id/
Data Dinas Kehutanan
Provinsi Riau/BBKSDA tentang perkiraan luas terbakar mulai tanggal 1 – 19 Juni
2014 di Provinsi Riau seluas 3.709 ha terdiri dari:
No
|
Kabupaten
|
Perkiraan luas terbakar (ha)
|
1
|
Rokan
Hilir
|
2800
|
2
|
Rokan
Hulu
|
200
|
3
|
Dumai
|
20
|
4
|
Bengkalis
|
500
|
5
|
Siak
|
20
|
6
|
Pekanbaru
|
4
|
7
|
Kampar
|
30
|
8
|
Pelalawan
|
115
|
9
|
Indragiri
Hulu
|
10
|
10
|
Kuantan
Sengingi
|
10
|
Total
|
3709
|
Sumber : http://www.menlh.go.id/
Sementara itu,
Kepolisian daerah Riau berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari
pengaduan masyarakat sudah melakukan mobilisasi pengendalian kebakaran lahan
dan hutan sejak 1 Juni 2014.Kejadian kebakaran di Wilayah Provinsi Riau dipicu
oleh indikasi pembukaan lahan
dengan cara membakar dan diperparah dengan kondisi suhu ekstrim yang
lebih dari 35oC dengan luas lahan gambut di wilayah Riau sebesar
56,1% yang mudah terbakar pada musim kemarau.Upaya-upaya yang telah dilakukan
diantaranya:
· Pemadaman darat dengan
mengerahkan regu pemadam dari TRC/Satpol PP, Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD), Regu Pemadam Kebakaran (RPK) perusahaan, Manggala Agni dan
kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA);
· Pemantauan upaya pengendalian
karlahut di daerah rawan;
· Koordinasi dengan
Kementerian/Lembaga dan SKPD terkait di daerah;
· Sinkronisasi program tingkat
nasional, provinsi dan kabupaten/kota untuk efektivitas mobilisasi sumberdaya
yang dimiliki.
Saat ini,
perkembangan terakhir kondisi kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau yaitu
kebakaran sudah dapat dilokalisir penyebarannya. Di Desa Tanjung Leban dan
Sepahat, Kabupaten Bengkalis sudah dipadamkan kebakaran seluas ± 1000 ha.
Selain itu, pertemuan antara Deputi III MenLH Bidang Pengendalian Kerusakan
Lingkungan dan Perubahan Iklim KLH dan Deputi V MenLH Bidang Penegakan Hukum
Lingkungan KLH dengan Kepala Kejaksaan Tinggi Riau dan Kepala Kepolisian Daerah
Riau untuk melaksanakan penegakan
hukum lingkungan secara tegas dengan melakukan proses penyelidikan dan dapat
ditingkatkan ke penyidikan apabila ditemukan bukti kesengajaan pembukaan lahan
dengan cara membakar terutama di Kab. Rokan Hilir, Kab. Bengkalis
dan Kota Dumai. Saat ini, regu pemadam kebakaran dibantu TNI/Polri masih berada
di lokasi untuk upaya penanggulangan kebakaran.
2. Faktor manusia
Kebakaran hutan diprovinsi riau selain disebabkan oleh faktor
alam, cuaca, dan iklim yang terjdi juga disebabkan oleha faktor manusia,
diantaranya disebabkan sebagai berikut :
·
Pembukaan lahan
dengan budaya tebang, imas dan bakar.
Pembukaan lahan dengan budaya tebang, imas dan bakar merupakan
langkah yang paling mudah dan murah untuk membuka lahan perkebunan atau ladang
berpindah yang merupakan salah satu dari beberapa faktor penyebab terjadinya
kebakaran hutan.
·
Pembukaan lahan
perkebunan dengan membakar lahan.
Pembukaan lahan perkebunan dengan membakar lahan merupakan langkah
yang efesien yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit,
hal ini dikarenakan sebagian besar lahan di provinsi riau merupakan lahan
gambut, dengan membakar lahan gambut maka tingkat keasaman tanah akan berkurang
dan PH tanah akan cocok untuk tanaman kelapa sawit, hal ini yang dilakukan oleh
perusahaan PT Adei Plantation & Industry dan pemilik perkebunan kelapa
sawit yang dimiliki oleh masyarakat.
·
Kurangnya kesadaran
masyarakat tentang bahaya kebakaran hutan
Kadangkala kesadaran masyarakat akan bahaya dari kebakaran hutan
dan partisipatif masyarakat dan lembaga-lemabaga independent seharusnya ikut
bertanggung jawab terjadinya kebakaran hutan.
·
Adanya ladang
berpindah yang dilakukan oleh masyarakat
Pembukaan lahan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat hanya
sedikit sekali persentasinya, akan tetapai pengaruhnya sangat besar apabila
pembukaan lahan dilakukan pada musim kemarau, hal ini dikarenakan pembukaan
lahan gambut mempunyai penyebaran yang cepat dan bisa menjadi kebakaran hutan
yang luas jika tidak ditangani secara serius.
III. Dampak Kebakaran Hutan di Provinsi Riau
Ø Terganggu aktivitas perekonomian dan pembangunan.
Dampak kebakaran hutan sangatlah luas jika dilihat dari sektor
perekonomian kabut asap yang ditimbulkan dari kebakaran hutan di daerah lahan
gambut yang menyebabkan kabut asap yang tebal sangatlah mengganggu, jika
dihitung kerugian yang ditimbulkan dari kabut asap satu hari menyelimuti suatu
wilayah sangatlah besar, provinsi riau merupakan daerah yang menghasilkan
produk domestic bruto perkapita yang besar pada tahun 2009 atas dasar harga
yang berlaku sebesar 60.210.835,29 dengan pendapatan regional perkapitanya
55.044.745,62. Jika dikalkulasikan kerugian perhari yang
diakibatkan kebakaran hutan dan kabut asap 60.210.885,29 per 365 hari adalah
164.961,32.jika dihitung ekternalitas yang terjadi di masyarakat jumlah
kerugian berdasarkan PBRD hanya sebagian kecil saja. Permasalahan kabut asap
juga mengganggu kegiatan penerbangan yang terjadi dibadara sultan syarif qasim
yang hanya mempunyai jarak pandang tidak lebih dari 50 m yang menagkibatkan
tertundanya jadwal penerbangan yang mengakibatkan kerugian semua pihak baik itu
pihak bandara, maskapai penerbangan, maupun masyarakat yang menggunakan jasa
penerbangan.serta kabut asap juga menggangu negara tetangga, Malaysia dan
Singapura. Serta menggangu aktivitas perekonomian dan aktivitas masyarakat
lainnya.
Ø Penyebaran penyakit ISPA bagi masyarakat.
Seiring dengan adanya kebakaran hutan yang mengakibatkan adanya
kabut asap berdampak langsung ke masyrakat dengan adanya penyakit inspkesi
saluran pernafasan atau ispa. Berdasarkan dinas kesehatan provinsi riau
menunjukan bahwa terjadi peningkatan jumlah pasien yang menderita ispa.
Ø Dampak terhadap lingkungan
Adanya perubahan iklim, misalnya yang sudah terasa adalah kenaikan
suhu yang ekstrim dalam beberapa wakti belakangan ini, contohnya suhu di
Sumatra yang biasanya 33-34oC naik menjadi 37oC. Sebagai akibat dari efek rumah
kaca yang berakibat secara global semakin menipisnya lapisan ozon dan kenaikan
suhu permukaan bumi. Kebakaran hutan ini harus ditanggapi dengan serius oleh
semua pihak. Selain itu hilangnya areal hutan akibat terbakar semakin
memperparah keadaan dengan hilangnya sejumlah areal paru-paru dunia.
Ø Hilangnya sejumlah spesies.
Hal ini disebabkan oleh kebakaran hutan yang dapat menghancurkan
habitat satwa-satwa yang ada di dalamnya. Umumnya satwa musnah karena
terperangkap oleh asap dan sulit keluar karena api mengepung dari segala
penjuru. Hal lain yang menyebabkan hilangnya sejumlah spesies adalah adanya
perubahan iklim yang menyebabkan spesies ini tidak mampu lagi bertahan dan
menyesuaikan diri
Ø Ancaman erosi.
Kebakaran yang terjadi di lereng-lereng pegunungan ataupundataran
tinggi akan memusnahkan sejumlah tanaman yang berfungsi menahan lajutanah pada
lapisan atas untuk mencegah erosi. Pada saat hujan turun, ketiadaan akartanah,
akibat terbakar, sebagai pengikat akan menyebabkan tanah ikut terbawa oleh
hujan ke bawah yang pada akhirnya juga potensial menimbulkan banjir dan
longsor.
Ø Perubahan fungsi lahan.
Fungsi hutan yang sebenarnya adalah sebagai catchmentarea,
penyaring karbondioksida maupun sebagai mata rantai dari suatu ekosistem yang
lebih besar yang menjaga keseimbangan planet bumi. Namun fungsi hutan inihilang
karena karbondioksida tidak lagi dapat disaring, panas matahari tidak dapat
terserap dengan baik, dan perubahan fungsi hutan menjadi lahan perkebunan atau
terkadang malah menjadi padang ilalang yang membutuhkan waktu lama untuk
kembali pada fungsinya yang semula.
Ø Penurunan kualitas air.
Kualitas air berubah karena adanya erosi yang muncul
dibagian hulu. Air hujan tidak lagi memiliki penghalang untuk menahan lajunya,
makaia akan membawa seluruh butir tanah yang ada di atasnya untuk masuk ke
dalam sungai-sungai yang ada. Akibatnya sungai pun menjadi keruh.
IV. Penyebaran Titik Api
(Hotspot) di Provinsi Riau
Sepanjang
2014 Satelit "National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA)"
18 milik Amerika Serikat yang dioperasikan Singapura merekam keberadaan 2.525
titik panas (hotspot) di daratan Provinsi Riau. Menurut data instansi yang ada
di indonesia titik panas yaitu sekitar 1089 (hotspot). Dimana sepanjang bulan
Februari yang paling banyak yaitu berada di Kabupaten Bengkalis yakni mencapai
522 titik.. Data BPBD juga menguraikan untuk sepanjang 2014 jumlah titik panas
yang berhasil direkam NOAA 18 ada sebanyak 2.525 titik tersebar di selruh
kabupaten/kota di Riau. Terbanyak yakni pada Februari dengan 1.272 titik dan
pada Maret terdeteksi 1.122 titik. Sementara pada Januari dan April NOAA
mendeteksi kemunculan masing-masing 50 "hotspot" dan pada Mei masih
terekam 1.222 titik.
Semakin parahnya
kabut asap yang melanda perbatasan pulau Sumatera dan semenanjung Malaya hingga
kini masih terus menimbulkan perdebatan sengit diantara
tiga negara, Indonesia, Malaysia dan Singapura. Menurunnya kualitas udara di
beberapa wilayah negara tetangga menjadi pemicu utama argumentasi. Kondisi di
Singapura, saat ini bahkan menurut Lembaga Lingkungan Singapura (National
Environment Agency) suda mencapai angka 371 dalam standar PSI (Pollutant
Standard Index) dan secara resmi melewati batas berbahaya bagi manusia yang
ditetapkan maksimal adalah 301. Batas angka yang sehat untuk ditempati oleh
manusia adalah antara angka 51 hingga 100 PSI. Sementara antara 101 hingga 200
adalah kondisi tidak sehat. Selebihnya, jika mencapai 201 hingga 300 sudah
memasuki kategori sangat tidak sehat. Diatas angka itu, sudah masuk zona
‘beracun’. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.1 berikut :
Terkait
hal ini, World Resources Institute baru saja merilis sebuah data terkait
kebakaran hutan yang terjadi di hutan Sumatera. Data ini memperlihatkan
lokasi-lokasi kebakaran yang terjadi pulau Sumatera, dan menurut pihak WRI ada
pola-pola khusus yang terjadi dalam kebakaran hutan ini. Secara umum, hanya
sedikit api yang muncul di kawasan lindung dan beberapa lokasi penebangan
pilih. Sebagian besar kebakaran hutan bersumber dari
lokasi perkebunan HTI (Hutan Tanaman Industri) dan perkebunan kelapa sawit. Masih
maraknya praktek tebang habis dan membakar lahan menyebabkan lokasi-lokasi ini
sangat rentan terjadi kebakaran lahan. Lewat data yang didapat dari Active Fire Data milik NASA dan peta konsesi
milik Kementerian Kehutanan RI, World Resources Institute berhasil menemukan
beberapa catatan penting di lokasi kebakaran hutan saat ini.
Setidaknya 17
nama perusahaan penebangan berhasil disaring lewat data yang dihasilkan oleh
World Resources Institute ini. Dari data ini lima perusahaan berasal dari grup
Raja Garuda Mas atau Royal Golden Eagle, sembilan perusahaan dari grup Sinar
Mas, dan satu perusahaan dari Barito Pacific Group.
Sementara itu,
dari perkebunan kelapa sawit 15 perusahaan berada di dalam wilayah ditemukannya
titik-titik api yang menyebabkan kabut asap. Dari data yang berhasil dihimpun
oleh WRI, tiga perusahaan berada dalam naungan Surya Dumai Grup, sementara
masing-masing satu perusahaan dari Sambu Grup, Siak Raya Grup, Rokan Grup, Sime
Darby, Wilmar dan KLAU River Ent Sdn Bhd.
Menurut catatan
BNPB hingga tanggal 18 Juni 2013 silam berdasarkan data satelit NOAA18 di
Kementerian Kehutanan menunjukkan, jumlah hotspot di Riau 148 titik, Jambi 26
titik, Kalbar 22 titik, Sumsel 6 titik, dan Sumbar 5 titik. Hotspot juga
terjadi di negara lain seperti Malaysia 8 titik, Thailand, Laos, Vietnam,
Cambodia 29 titik, dan Myanmar 17 titik. Jumlah tersebut belum dikategorikan
besar jika dibandingkan puncak kemarau yang seringkali mencapai ribuan titik.
Menanggapi
terjebaknya asap di wilayah Singapura, Sutopo Yuwono mengatakan hal ini
disebabkan oleh anomali cuaca. Munculnya pusat-pusat tekanan rendah mengubah
sirkulasi massa uap air. Hal ini mengakibatkan terjadinya bencana asap yang
tidak mengikuti pola umum. BMKG menyatakan bahwa siklon Yagi dan Siklon Leepi
yang berada di timur laut Philipina menyebabkan tertariknya massa udara dari
Indonesia ke arah Philipina. Kabut asap dari daerah Riau juga mengalir ke arah
Philipina melalui Singapura sehingga kualitas udara mengganggu Singapura.
Siklon tropis Leepi akan berumur 7-10 hari sejak munculnya embrio siklon tgl
18/6/2013. Sebelumnya siklon Yagi juga tumbuh di Samudera Pasifik yang
menyebabkan arah angin di Indonesia mengarah ke siklon tersebut. Kondisi
demikian juga menyebabkan wilayah Riau akan relatif kering. Setiap tahun, delapan
propinsi di Indonesia memiliki titik-titik api terbanyak akibat kebakaran hutan
dan lahan. Umumnya kebakaran terjadi di daerah yang berlahan gambut, terletak
di pedalaman dan mengakibatkan kebakaran semakin sulit dipadamkan.
I. Penanggulangan
Kebakaran Hutan di Provinsi Riau
1. Mapping : Pembuatan peta kerawanan
hutan di wilayah teritorialnya masing-masing. Fungsi ini bisa dilakukan dengan
berbagai cara, namun yang biasa digunakan adalah 3 cara berikut:
Pemetaan daerah rawan yang dibuat
berdasarkan hasil olah data dari masa lalu maupun hasil prediksi
Pemetaan daerah rawan yang dibuat
seiring dengan adanya survai desa (Partisipatory Rural Appraisal)
Pemetaan daerah rawan dengan
menggunakan Global Positioning System atau citra satelit
2. Sistem Informasi : penyediaan sistem
informasi kebakaran hutan.
Hal ini bisa dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning system) di setiap tingkat. Deteksi dini dapat dilaksanakan dengan 2 cara berikut :
Hal ini bisa dilakukan dengan pembuatan sistem deteksi dini (early warning system) di setiap tingkat. Deteksi dini dapat dilaksanakan dengan 2 cara berikut :
Analisis kondisi ekologis, sosial, dan
ekonomi suatu wilayah
Pengolahan data hasil pengintaian
petugas
3. Standardisasi : pembuatan dan
penggunaan SOP (Standard Operating Procedure)
Untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan kebakaran hutan maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan, diperlukan standar yang baku dalam berbagai hal berikut :
Untuk memudahkan tercapainya pelaksanaan program pencegahan kebakaran hutan maupun efektivitas dalam penanganan kebakaran hutan, diperlukan standar yang baku dalam berbagai hal berikut :
Metode pelaporan
Untuk menjamin adanya konsistensi dan keberlanjutan data yang masuk, khususnya data yang berkaitan dengan kebakaran hutan.
Untuk menjamin adanya konsistensi dan keberlanjutan data yang masuk, khususnya data yang berkaitan dengan kebakaran hutan.
Peralatan
Peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus bisa diterapkan oleh pemerintah, meskipun standar ini bisa disesuaikan kembali sehubungan dengan potensi terjadinya kebakaran hutan
Peralatan yang harus dimiliki oleh setiap daerah harus bisa diterapkan oleh pemerintah, meskipun standar ini bisa disesuaikan kembali sehubungan dengan potensi terjadinya kebakaran hutan
Metode Pelatihan untuk Penanganan
Kebakaran Hutan
Standardisasi ini perlu dilakukan untuk membentuk petugas
penanganan kebakaran yang efisien dan efektif dalam mencegah maupun menangani
kebakaran hutan yang terjadi.
4. Supervisi : pemantauan dan pengawasan
kepada pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan hutan. pemantauan berkaitan
langsung dengan penyediaan data,kemudian pengawasan merupakan respon dari hasil
olah data tersebut. Pemantauan, menurut kementerian lingkungan hidup, dibagi
menjadi dua, yaitu :
Pemantauan terbuka : Pemantauan dengan
cara mengamati langsung objek yang diamati.
Pemantauan tertutup (intelejen) :
Pemantauan yang dilakukan dengan cara penyelidikan yang hanya diketahui oleh aparat tertentu.
Pemantauan pasif : Pemantauan yang dilakukan berdasarkan dokumen, laporan, dan keterangan dari data-data sekunder, termasuk laporan pemantauan tertutup
Pemantauan tertutup (intelejen) :
Pemantauan yang dilakukan dengan cara penyelidikan yang hanya diketahui oleh aparat tertentu.
Pemantauan pasif : Pemantauan yang dilakukan berdasarkan dokumen, laporan, dan keterangan dari data-data sekunder, termasuk laporan pemantauan tertutup
Pemantauan aktif
Pemantauan dengan cara memeriksa langsung dan menghimpun data di lapangan secara primer. Contohnya : melakukan survei ke daerah-daerah rawan kebakaran hutan. Sedangkan, pengawasan dapat dilihat melalui 2 pendekatan, yaitu :
Preventif : kegiatan pengawasan untuk pencegahan sebelum terjadinya perusakan lingkungan (pembakaran hutan).
Represif : kegiatan pengawasan yang bertujuan untuk menanggulangi perusakan yang sedang terjadi atau telah terjadi serta akibat-akibatnya sesudah terjadinya kerusakan lingkungan
Pemantauan dengan cara memeriksa langsung dan menghimpun data di lapangan secara primer. Contohnya : melakukan survei ke daerah-daerah rawan kebakaran hutan. Sedangkan, pengawasan dapat dilihat melalui 2 pendekatan, yaitu :
Preventif : kegiatan pengawasan untuk pencegahan sebelum terjadinya perusakan lingkungan (pembakaran hutan).
Represif : kegiatan pengawasan yang bertujuan untuk menanggulangi perusakan yang sedang terjadi atau telah terjadi serta akibat-akibatnya sesudah terjadinya kerusakan lingkungan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar